Rabu, 10 April 2013

oh kampusku..

ehem halo. saya adalah mantan mahasiswa UB, yang mau saya bahas adalah kampus kebanggaan kota Malang ini, Universitas Brawijaya.

ngomong-ngomong kampus ini punya banyak slogan/tagline loh. ada "Join UB be the best", enterpreneur university", dan waktu jaman saya kuliah di Teknik Elektro dulu, pernah ada tagline "Unibraw kampus rakyat" iya namanya dulu Unibraw. diganti UB karena mungkin "unibraw" banyak dijadikan lelucon klasik  yang tingkat kegaringannya mirip mengunyah kripik singkong pedas level. garing dan pedes.
nama UB pun sebenarnya sedikit memaksa. UB adalah singkatan dari kata bahasa Inggris, University of Brawijaya. jika kita faham penggunaan grammar English lantas akan bertanya, "Brawijaya iki sopo tuips??"
Prabu Brawijaya udah lama meninggal, Indonesia udah ga ada kerajaan Majapahit, bahkan kita sudah lama meninggalkan kepercayaan animisme dan dinamisme (meskipun ada candi di kampus :p).
meskipun sedikit bertingkah a la #grammarnazi, ya kalo mau gaul pake nama enggres, harusnya pake nama BU atau Brawijaya University. tapi kata-kata BU mungkin kurang enak didengarkan karena mirip inisial para pelaku kriminal.


oke, cukup soal nama. slide topic.

di mata orang Malang ataupun di Indonesia, bisa jadi UB adalah kampus bonafit. tapi bagi saya kampret. bukan masalah akademis yang kampret. saya tidak ada sama sekali masalah ketika belajar disini. tapi masalah environment, yang menunjang saya untuk belajar disini.
macet. bisa membayangkan ada kemacetan lalu lintas di dalam kampus? beberapa tahun terakhir ini kampus UB mengalami hal itu. beberapa hari lalu adalah jalanan kampus termacet yang pernah saya temui selama 5 tahun lebih kuliah. saking macetnya saya hanya jalan masuk gigi 2 motor bebek dengan kecepatan 10 km/jam.
gak ada demo. gak ada tukang odong-odong lewat. ga ada juga kerumunan orang minta foto karena belakangan banyak mahasiswa UB jadi artis. tapi kenapa macet? absurd.

gak absurd. logis kok, karena UB menerima 15.419 mahasiswa baru tahun ini (data dari Prasetya UB). ini adalah yang terbesar di Indonesia. jumlah yang sangat besar dibandingkan pertama saya masuk FISIP UB, hanya sekitar delapan-ribuan mahasiswa baru diterima. macet adalah makanan sehari-hari ketika jam makan siang, apalagi jam pulang kuliah sore.
"ya mahasiswanya banyak, jelas aja macet" kita memang seakan-akan disuruh mengamini kalo macet adalah konsekuensi, bukan dampak. okelah gapapa. tapi saya lihat kemacetan ini ga dikelola dengan baik. ada yang pernah lewat pertigaan hukum? ke kanan arah UB Hotel? ada parkiran laknat yang bisa membuat macet seperti kita berada di kerumunan angkot di pasar besar. itu adalah parkiran mahasiswa FIA yang ga dapet parkiran karena emang ada gedung dibongkar. ironisnya terdapat tanda dilarang parkir disana.
pihak UB lupa kalo yang lewat disana tak hanya motor dan mobil. di UB banyak pembangunan gedung, yang bikin truk molen dan excavator pun kadang-kadang lewat.
yang salah bukan mahasiswa yang parkir, mahasiswa yang pulang kuliah, ataupun truk molen yang lewat. akan tetapi pihak kampus yang mengelola. kenapa menerima mahasiswa sebanyak itu kalo belum siap?
paling tidak, UB yang punya tagline "Enterpreneur University" harusnya dapat memberi modal peluit dan lightstick untuk mahasiswanya yang berminat wirausaha jadi polisi cepek di pertigaan kampus.

ngomong-ngomong soal mahasiswa baru yang masuk, ada beberapa jalur yang dapat digunakan untuk mereka yang ingin berkuliah di UB. saya kurang tahu yang lain, tapi yang populer adalah SPMB dan SPMK (itu nama jaman tahun 2008, jaman sekarang mungkin namanya tulis dan mandiri).
dulu saya masuk lewat jalur SPMK, karena saya pindah dari Elektro, ga diterima di komunikasi. sebenernya SPMK cuma istilah normatif dari "jalur bayar". untuk masuk, terdapat tes dan kuota yang hanya sedikit. jaman saya dulu terdapat gosip yang mengatakan bahwa yang terjaring tes masuk SPMK hanya yang dari SMA favorit. kebetulan saya dari SMAN4 Malang, Tugu. saya mengamini gosip itu.
tapi sekarang saya tidak tahu jumlah pasti yang diterima lewat jalur tersebut ada berapa. dari 15ribuan mahasiswa, pasti sangat banyak yang "mampu bayar" dan gosip-gosip siapa-siapa yang akan terjaring tidak akan berlaku. semua akan berpikir: "mampu bayar, silahkan kuliah disini".
semoga hal itu ga sepenuhnya bener ya..

saya dan mahasiswa "jalur bayar" lain sebenernya beruntung karena kelas-kelas untuk kuliah tidak dibedakan berdasarkan jalur masuk. konon kampus sebelah melakukan hal tersebut yang pastinya mereka menganut politik apharteid yang membedakan orang minoritas dan mayoritas. di UB kelas tidak dibedakan berdasarkan jalur, semua dicampur. mungkin UB menganut prinsip "semua orang derajatnya sama di mata Tuhan, dan dimata Pak Yogi". jika diharuskan ada pembedaan kelas berdasarkan jalur masuk, akan ada beberapa kelas. mungkin akan ada kelas SPMB dan SPMK. juga akan ada kelas titipan anak jendral. bahkan mungkin akan ada kelas khusus keluarga rektor. kelas keluarga rektor ini mahasiswanya ketika lulus langsung jadi pegawai akademik.

salah satu dampak dari banyaknya mahasiswa baru UB, adalah tidak cukupnya kapasitas gedung. di Fakultas saya dulu yakni FISIP, telah dibangun gedung baru yang bersebelahan dengan gedung lama dan bentuknya dimiripkan. niatnya menyamai Menara Petronas hihihi. pembangunan gedung tersebut mengorbankan satu lapangan sepakbola di kampus. yang dimasalahkan adalah waktu pengerjaannya adalah ketika hari aktif kuliah. jika anda awam di kampus UB dan anda lewat atau bahkan masuk di fakultas saya FISIP, anda mungkin kebingungan membedakan apakah ini kampus atau toko bangunan.
bahkan UB pernah meratakan sebuah gedung dengan sebuah excavator besar untuk di bangun ulang ketika jam aktif kuliah. debu-debu reruntuhan gedung tersebut mengurangi jarak pandang hingga level anda melihat Mariana Renata seperti Dewi persik sedang goyang ular. tingkat ketebalan debu tersebut tak hanya mengurangi jarak panjang tapi juga menyebabkan polusi udara. jika anda datang ke kampus dengan penyakit TBC dan menghirup debu reruntuhan tadi, saya akan pastikan anda akan batuk dan mutah darah.
hal itu cukup mengganggu saya untuk lewat sana dan tidak mengira ada perang di dalam kampus dengan adanya excavator besar dengan ambience debu-debu padang pasir beterbangan seperti dalam Transformer.
belum lagi jumlah mahasiswa yang banyak memaksa jumlah parkiran yang lebih banyak juga. sayangnya hal itu tidak tersedia. green grass di area Fakultas Ilmu Budaya telah dalam proses perombakan menjadi lahan parkir, seperti yang telah dilakukan di green grass area Gedung Kuliah Bersama. sisa lapangan bola yang telah disulap menjadi gedung oleh UB juga akan dijadikan lahan parkir. sementara parkiran penuh,  mahasiswa parkir di pinggir-pinggir jalan, di sela-sela pohon, bahkan tidak parkir. maksudnya tidak jadi kuliah dan pulang.
konon memang mencari parkiran di UB lebih susah daripada menangkap koruptor.

parkiran di pinggir jalan FIA adalah yang paling tidak masuk akal. ada rambu dilarang parkir, tapi parkiran motornya ada 2 layer. vertikal dan diagonal (miring maksudnya :p). kenapa bukan parkiran ini saja yang diratakan dengan excavator? tapi tetap bukan salah yang parkir, tapi yang mengelola.
masalah macet dan parkiran memang akar permasalahannya di kebijakan kampus. tapi jumlah mahasiswa yang banyak membuat akar permasalahan makin menancap kuat. kebijakan kampus itu mirip lingkaran setan. 
coba bayangkan, jumlah mahasiswa yang besar berarti banyak juga mahasiswa pendatang. banyak mahasiswa pendatang otomatis kos-kosan di daerah kampus juga harus banyak. sementara kos-kosan di kampus penuh karena mahasiswa lama banyak yang belum keluar. hal ini menyebabkan banyak mahasiswa pendatang yang lebih suka ngekos dan mengontrak di daerah yang jauh dari kampus. masalahnya adalah: kos/kontrakan jauh, dan mahasiswa jaman sekarang tidak suka naik angkot dan memilih naik kendaraan pribadi. mungkin karena fasilitas angkot kurang memadai (fasilitas angkot terbaik mungkin hanya subwoofer yang memutar mp3 koplo), padahal angkot mempunyai kuasa di jalan raya melebihi Voorijder Paspampres. oleh karena itu parkiran (yang dipenuhi plat luar Malang) jadi masalah besar di kampus. konon hal tersebut yang bikin kota Malang juga mulai jadi kota yang macet seperti Jakarta.

masih ada beberapa hal lagi. ini sebenernya cuma hal non-teknis. di kampus sering mengalami listrik mati, air mati, dan banjir ketika hujan. listrik dan air mati sangat tidak mendukung kegiatan belajar dan kuliah.  bagaimana kita menyalakan LCD kalo listrik mati? bagaimana kita ngecharge laptop? bagaimana kita naik lift?? gimana coba? eh tapi kalo lift kan ada tangga. lagian itu bukan lift sih, lebih mirip jeding. (saya membicarakan lift di fakultas saya).
air mati kita jadi tidak bisa ke kamar mandi. banyak manusia nekat yang buang air kecil tidak disiram. alhamdulillah tidak ada yang buang air besar lalu tidak menyiramnya dan menyamakan level kampus dengan terminal.
kegiatan ibadah juga terhambat gara-gara air mati. mungkin untuk sholat kita harus tayamum dari debu yang menempel tebal di tumpukan draft skripsi. air mati ini hanya menguntungkan kaum beragama tapi tidak mau sholat karena terpengaruh iluminati yang sekarang lagi trend (serius orang seperti ini ada. sekali lagi ini serius).
tiap hujan pun banjir. mungkin got di UB isinya penuh dengan tikus mati. mati karena makan duit mahasiswa kali #eaaa enggak kok. maksudnya gorong-gorong itu dikemanain? mungkin pembangunan gedung memang ga diimbangi pembangunan drainase. 
ide "Enterpreneur University" bisa muncul lagi ga ya? persewaan sepeda keliling kampus sudah ada, mungkin nanti ada persewaan perahu karet keliling kampus khusus ketika banjir. 10rb rupiah perjam. pake pendayung nambah 5rb rupiah. UB bisa go international karena jadi kampus enterpreneur yang kreatif.
 
lebih absurd lagi ternyata banyak sekali pohon ditebang di UB untuk pelebaran jalan. kampus banjir lalu menebang pohon itu seperti Jupe yang memakai belahan dada rendah. banjirnya semakin parah seperti menonjolnya dada Jupe.
mereka mementingkan pelebaran jalan untuk parkiran mobil pinggir jalan dibandingkan mempertahankan area resapan hijau. melestarikan kapitalisme dan hedonisme daripada mencegah global warming.
lagian kalo ga ada pohon, spanduk Bunda kita semua mau ditaruh mana?
terus gimana?
mari kita tanyakan solusinya pada Bunda kita semua.
disunting dari http://cacimakisajadiriku.blogspot.com/2012/11/oh-kampusku.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar